https://journal32.ar-raniry.ac.id/Assiyadah/issue/feedAs-Siyadah : Jurnal Politik dan Hukum Tata Negara2024-06-22T17:50:54+00:00Azmil Umurfsh.prodihtn@ar-raniry.ac.idOpen Journal Systems<p style="text-align: justify;"><em>As-Siyadah</em> : Jurnal Politik dan Hukum Tata Negara (Siyasah) merupakan, jurnal Prodi Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Ar-Raniry Banda Aceh, mempublikasikan karya tulis ilmiah Dosen, Mahasiswa, dan Praktisi di bidang keilmuan Hukum Tata Negara dan Politik Islam (Siyasah), sebagai wadah dalam mengembangkan ilmu, teori, konsep dan gagasan di dunia akademik maupun masyarakat umum dalam menghadapi berbagai isu ketatanegaraan dan politik Islam.</p> <p style="text-align: justify;">P ISSN: <strong><a href="https://issn.brin.go.id/terbit/detail/20221109280952800" target="_blank" rel="noopener">2963-9972 </a></strong>E ISSN: <strong><a title="2964-4208" href="https://issn.brin.go.id/terbit/detail/20221028091048725" target="_blank" rel="noopener">2964-4208</a></strong></p>https://journal32.ar-raniry.ac.id/Assiyadah/article/view/4391SYARICAH; SOLUSI MUSLIHAT MEMBANGUN BANGSA: BERANJAK DARI PENGALAMAN ACEH2024-05-18T10:54:49+00:00Hasanuddin Yusuf Adanteukuoyekreza@gmail.com<p>Membangun bangsa dengan kebijakan Jakarta sebagai ibukota Indonesia sudah terbukti gagal dan tidak berkesinambungan dari dulu sampai sekarang dalam perspektif syari’ah. Untuk itu perlu ada antisipasi awal pembangunan bangsa dengan konsep syari<sup>c</sup>ah yang syumul dan kaffah. Sejarah sudah membuktikan bahwa pembangunan bangsa dengan syari<sup>c</sup>ah dapat memunculkan negeri ini di dunia internasional, bahkan khusus untuk Aceh pernah menjadi salah satu negara super power dunia di zaman Sultan Iskandar Muda dahulu kala berbarengan dengan kerajaan Turki Usmani, kerajaan Isfahan, kerajaan Mongul dan kerajaan Akra. Mengingat kondisi seumpama itu maka sangatlah perlu pembangunan bangsa kedepan harus dengan konsep syari<sup>c</sup>ah seratus persen, sebab bangsa ini sudah sangat ambruk dalam berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara selama wujud wilayah Indonesia. Syari<sup>c</sup>ah menawarkan sistem pembangunan dua arah untuk bangsa; pertama arah yang memihak kepada <em>khaliq</em> sebagai <em>creator</em> dan kedua yang mengarah kepada <em>human being</em> sebagai <em>makhluq</em>. Arah pertama menganjurkan kita untuk membangun bangsa dengan mengikuti rambu-rambu ‘aqidah, syari<sup>c</sup>ah, dan akhlaq, sehingga pembangunan bangsa kedepan tidak ada satu komponen masyarakatpun yang merasa dirugikan. Sementara arah kedua menawarkan nilai ukhuwwah, nilai mu’amalah dan nilai siyasah menjadi pegangan sehingga hasil dari pembangunan bangsa kedepan memenuhi persyaratan yang ditawarkan Al-Qur’an, yakni; <em>ḥablumminallāh wa ḥablumminannās</em>. paper ini disajikan mengikut metodologi kualitatif yang menggambarkan rumusan-rumusan dan format pembangunan bangsa kedepan dengan dua dimensi; dimensi <em>khaliq</em> dan dimensi <em>makhluq</em>. Teknik pengumpulan data lebih diutamakan melalui perpustakaan (<em>library research</em>). Kepada para penguasa negeri ini kapan saja mereka berkuasa kami anjurkan untuk membangun bangsa kedepan dengan konsep pembangunan syari<sup>c</sup>ah.</p>2024-04-02T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Hasanuddin Y. A.https://journal32.ar-raniry.ac.id/Assiyadah/article/view/4219TINJAUAN FIQH SIYASAH MALIYAH DALAM PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS DI PROVINSI ACEH2024-05-01T11:21:07+00:00Syarifah Riyani, Chairul Fahmi, dan Rispalmansyarifahriyani@student.ar-raniry.ac.id<p>Provinsi Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mendapatkan hak otonomi khusus. Pasal 183 ayat (1) UUPA mengamanatkan bahwa Dana Otonomi Khusus merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan, terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Aceh. Peneliti mengambil rumusan masalah pertama, bagaimana pengelolaan dana otonomi khusus di Provinsi Aceh. Kedua, bagaimana tinjauan Fiqh Siyasah Maliyah dalam pengelolaan dana otonomi khusus di Provinsi Aceh. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode penelitian<em> kualitatif </em>dengan pendekatan penelitian yuridis empiris. Hasil penelitian didapati bahwa alokasi Dana otonomi Khusus gelombang kedua yang berlaku pada jangka tahun 2023 sampai tahun 2027 adalah 1% dari DAU nasional. Pembagian dana otsus tersebut berdasarkan peraturan gubernur (pergub) adalah 60% diberikan untuk di manfaatkan oleh seluruh kabupaten/kota di provinsi Aceh, sedangkan 40% akan dimanfaatkan oleh Provinsi. Permasalahnya, pengelolaan dana otsus di Aceh tidak dikelola dengan baik. Seharusnya dengan dana otsus itu bisa untuk mengatasi kemiskinan dan mensejahterakan rakyat Aceh. Dalam sisi pembangunan pendidikan di Aceh ada tiga pihak yang bertanggung jawab dalam Pengadaan Langsung (PL) proyek pembangunan. Pihak-pihak tersebut berbeda-beda fungsinya dan juga penganggaran, yaitu konsultan perencanaan, pelaksana konstruksi, dan konsultan pengawas. Dalam pembangunan pendidikan juga ada istilah tender yang di berikan penawaran kepada pihak lain. Selain itu, peraturan ini juga telah mengubah batas pengadaan langsung untuk jasa konsultansi menjadi Rp100 juta yang sebelumnya adalah Rp50 juta. Sedangkan untuk pengadaan barang/konstruksi/jasa lainnya minimal Rp200 juta sampai miliyaran rupiah dengan sistem lelang. Dikaitkan dengan <em>fiqh siyasah maliyah</em> artinya, <em>fiqh maliyah</em> lebih condong menggunakan pendekatan normatif yang berdasarkan akhlak dan moral serta dalam penerapan hukum lebih utama bersandar pada hukum admnistrasi dan sosiologi hukum dalam penerapan keadilan. Prinsip penerapan sistem pemerintahan Islam juga dikenal pemerintahan yang otonomi seperti pada lembaga <em>baitul mal</em> bahwa badan otonomi yang berdiri bebas sebagai salah satu lembaga tinggi negara.</p>2024-04-02T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Syarifah Riyani, Chairul Fahmi, dan Rispalmanhttps://journal32.ar-raniry.ac.id/Assiyadah/article/view/3819PENYELESAIAN SENGKETA HARATO PUSAKO TINGGI OLEH LEMBAGA KERAPATAN ADAT NAGARI DALAM PERSPEKTIF SIYASAH DUSTURIYAH 2024-05-02T11:20:38+00:00Diah Ramadhani Diah190105019@student.ar-raniry.ac.idDedy Sumardidedysumardi@ar-raniry.ac.idEdi Yuhermansyahedi.yuhermansyah@ar-raniry.ac.id<p>Tanah Pusako Tinggi di dalam Adat Minangkabau merupakan bagian dari harta pusako tinggi yang diwarisi secara turun temurun dari Niniak kepada Mamak dan dari Mamak kepada Kamanakan. Pembagian tanah pusako tinggi dikenal dengan istilah <em>Ganggam Bauntuak</em> yang berarti diturunkan berdasarkan pertalian darah seketurunan ibu dan dikuasai dengan hak kolektif bersama dalam suatu kaum. Penguasaan dan pengelolaan tanah pusako tinggi beresiko menimbulkan sengketa yang terjadi di dalam ataupun diluar kaum. Berkaitan dengan ini, Kerapatan Adat Nagari berperan sebagai lembaga peradilan adat untuk menyelesaikan berbagai persengketaan yang diajukan oleh masyarakat nagari melalui jalan musyawarah untuk mencapai mufakat perdamaian. Penelitian ini mengkaji bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa harato pusako tinggi oleh lembaga Kerapatan Adat Nagari Limau Purut dan bagaimana tinjauan Fiqh Siyasah Dusturiyah terhadap putusan dari Kerapatan Adat Nagari Limau Purut dalam menyelesaikan sengketa harato pusako tinggi. Metode penelitian yang digunakan adalah Yuridis Sosiologis dengan jenis Kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian diambil kesimpulan bahwa penyebab terjadinya sengketa tanah pusako tinggi antara pihak A Cs sebagai penggugat dengan pihak BH Cs sebagai tergugat adalah karena adanya pengajuan permohonan untuk pengeluaran surat kepemilikan tanah atas nama BH Cs kepada KAN Limau Purut diatas tanah yang sudah dihibahkan oleh leluhur dari pihak penggugat A Cs. Pihak A Cs merasa hibah tersebut tidak sah karena tidak adanya pembuktian yang kuat menurut kesaksian kaumnya, sementara itu pihat tergugat A Cs melampirkan bukti surat tebus gadai dan hibah sebagai pembelaan diri. Mekanisme penyelesaian sengketa ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat <em>bajanjang naiak batanggo turun</em> dengan upaya putusan perdamaian berdasarkan<em> adaik basandi syara’, syara’ basandi kitabullah</em> yang mengacu pada konsep Islam fiqh siyasah dusturiyah dalam pengambilan putusan berpedoman dengan kaidah-kaidah Siyasah Dusturiyah yakni merundingkan, mengaktualisasikan, dan memberlakukan putusan.</p>2024-04-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Diah Ramadhani Diah, Dedy Sumardi, Edi Yuhermansyahhttps://journal32.ar-raniry.ac.id/Assiyadah/article/view/3297PELARANGAN PENGGUNAAN MASJID SEBAGAI TEMPAT KAMPANYE PERSPEKTIF AL-MAS{LAH{AH AL-MURSALAH 2024-05-02T11:24:27+00:00Pujangga Candrawijayaning Fajripujanggacandra11@gmail.com<p>Kampanye merupakan salah satu instrumen penting bagi negara yang menganut ajaran demokrasi. Kampanye adalah masa dimana peserta pemilu melakukan aktivitas berupa penyampaian ide dan gagasan yang disampaikan kepada pemilih. Lazimnya para peserta pemilu gencar berkampanye di berbagai tempat: fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Namun berdasarkan Putusan No. 65/PUU-XXI/2023 Mahkamah Konstitusi melarang penyelenggaraan kampanye di tempat ibadah. Penelitian ini berupaya menelaah putusan <em>a quo </em>mengenai pelarangan masjid sebagai tempat kampanye notabene menjadi bagian dari putusan <em>a quo</em>, lalu peneliti akan melakukan kajian apakah putusan<em> a quo </em>mengakomodasi <em>al-mas}lah}ah al-mursalah</em>. Penelitian ini berjenis kepustakaan (<em>library research</em>) dengan menggunakan metode konten analisis disertai dengan pendekatan yuridis-normatif. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa kampanye sebagai salah satu tahapan penting dalam Pemilu berpotensi menimbulkan kampanye hitam dan politik identitas yang dapat menimbulkan konflik serta polarisasi antar-sesama umat Islam, terlebih jika mengingat masa-masa kampanye yang bertempat di masjid pada pemilu terdahulu karena masjid dinilai sebagai tempat potensial untuk bisa meraih suara. Sehingga masjid yang semula berfungsi sebagai tempat ibadah dan kegiatan positif lainnya berubah menjadi tempat penyampaian sentimen belaka. Jika masjid dipergunakan kembali sebagai tempat kampanye maka akan semakin menjauhkan fungsi masjid seperti sebagaimana mestinya. Sehingga beralasan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam Putusan <em>a quo</em> mengakomodasi <em>al-mas}lah}ah al-mursalah</em>, karena <em>pertama</em>, pada Putusan <em>a quo</em> Mahkamah Konstitusi berupaya untuk menjaga agama (<em>hifz} ad}-di>n</em>) agar tidak terjadi konflik dan polarisasi yang disebabkan karena perbedaan kepentingan politik. <em>Kedua</em>, tidak bersifat dugaan karena dengan dilarangnya pelaksanaan kampanye di masjid maka akan menghindari konflik seperti pada Pemilu terdahulu. <em>Ketiga</em>, bersifat umum karena putusan Mahkamah Konstitusi bersifat <em>erga omnes</em>. <em>Keempat</em>, tidak bertentangan dengan maksud dari disyariatkannya hukum Islam (kemaslahatan). Sehingga dengan adanya Putusan <em>a </em>quo masa kampanye pada penyelenggaraan pemilu mendatang tidak lagi menodai masjid dengan kepentingan-kepentingan politik praktis tertentu, sehingga umat Islam dapat melaksanakan ibadahnya dengan tenang dan menggunakan masjid dengan kegiatan-kegiatan yang positif sehingga mendapat ridho dari Allah Swt.</p>2024-04-30T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Pujangga Candrawijayaning Fajrihttps://journal32.ar-raniry.ac.id/Assiyadah/article/view/3267POLITIK HUKUM PENGANGKATAN PENJABAT KEPALA DAERAH PERSPEKTIF SIYASAH DUSTURIYAH2024-05-18T15:27:43+00:00Fourzan Fajar Muzakkirfaurzanfajar@gmail.comHasnul Arifin Melayuhmelayu@yahoo.comAzka Amalia Jihadazka.jihad@ar-raniry.ac.id<p>Pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah dalam proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah sampai dengan terpilihnya kepala daerah hasil Pilkada serentak nasional tahun 2024 terdapat di dalam Pasal 201 ayat (9) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur Bupati dan Walikota Menjadi Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan Pengesahan Pengangkatan Dan Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah. Tujuan dalam penelitian ini ingin mengetahui ketentuan undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 terkait pengangkatan penjabat kepala daerah, dan <em>Kedua</em>, dan tinjauan <em>Siyasah Dusturiyah</em> terhadap pengangkatan Penjabat kepala daerah. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data (<em>library research</em>). Hasil penelitian menunjukan, ketentuan pelaksana tersebut sangatlah kurang lengkap dan tidak lagi relevan karena masih mengalami tumpang tindih. Hal ini jelas menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum, karena undang-undang dan aturan pelaksananya memuat ketentuan yang berbeda dan berlawanan. Adanya pertentangan tersebut membuktikan bahwa regulasi dari pengangkatan penjabat kepala daerah masih cacat dan tidak lengkap. Dalam pandangan <em>Fiqh Siyasah Dusturiyah</em> terkait pengisian jabatan tertentu maka islam memandang penting atas terjadi kekosongan pimpinan dalam suatu daerah karna hal tersebut akan berdampak langsung dengan keberlangsungan pemerintahan suatu Negara dan juga terkait kemaslahatan ummat. Dalam konteks hukum tata negara Islam pejabat (Pj) kepala daerah dapat dikatakan sebagai gubernur umum yang pengangkatannya dengan akad atas dasar suka rela (gubernur <em>mustakfi</em>) yakni mempunyai tugas tertentu dan otoritas tertentu pula.</p>2024-05-18T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Fourzan Fajar Muzakkir, Hasnul Arifin Melayu, Azka Amalia Jihadhttps://journal32.ar-raniry.ac.id/Assiyadah/article/view/3260MEKANISME PENETAPAN FATWA OLEH MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA (MPU) ACEH PADA MASA PANDEMI COVID-192024-06-22T17:50:54+00:00Aiyatul Maghfirah M, Sitti Mawar, Bustamam Usmanaiyatulmaghfirah@gmail.com<p>Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh yang dikenal sebagai sebuah lembaga fatwa yang ada di daerah kabupaten/kota dan tingkat provinsi. MPU Aceh sebagai lembaga independen mempunyai kewenangan untuk menetapkan fatwa dalam masalah keagamaan, hal ini diatur pada Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh. Yang mana kita ketahui dalam merumuskan sebuah fatwa para ulama akan berkumpul untuk membahas hal-hal yang menjadi masalah dalam masyarakat. Akan tetapi pada 2019 akhir terdapat sebuah wabah penyakit global yaitu disebut dengan <em>Corona Virus Disease 2019</em> <em>(Covid-19). </em>Seperti yang kita ketahui pada saat pandemi virus Covid-19 ini semua kegiatan dibatasi dan diharuskan bekerja dari rumah (<em>Work From Home</em>). Oleh karena itu, masalah yang didalami dalam penelitian ini yaitu bagaimana mekanisme penetapan fatwa oleh Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh pada masa pandemi Covid-19 dan hambatan apa saja yang dihadapi oleh MPU. Penelitian ini dikaji dengan metode deskriptif analitis, dengan pendekatan kualitatif. Kewenangan MPU diatur dalam Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Ulama memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa terhadap masalah pemerintahan, pembangunan, ekonomi, sosial budaya dan kemasyarakatan. Selama masa pandemi Covid-19 ini melanda ada beberapa fatwa dan taushiyah yang dikeluarkan oleh Majelis Permmusyawaratan Ulama Aceh yang berkaitan dengan Covid-19. Dan juga pada masa pandemi Covid-19 MPU Aceh tetap menjalankan kewenangannya dalam merumuskan dan menetapkan fatwa tentang pemerintahan, pembangunan, ekonomi, sosial budaya dan masalah kemasyarakatan, dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan yang ketat. Memberikan pedoman tentang perbedaan pendapat dalam masalah agama, baik di kalangan umat Islam maupun di antara umat beragama lainnya. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh juga sangat berperan aktif dalam menjalankan perannya, lembaga ini juga ikut berpartisipasi penuh dalam membantu pemerintah untuk mensosialisasikan regulasi tentang Covid-19.</p> <p><strong>Kata Kunci</strong> : <em>Penetapan Fatwa, Fatwa MPU, Covid-19</em></p>2024-05-18T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Aiyatul Maghfirah M, Sitti Mawar, Bustamam Usman